Jumat, 16 Juli 2010

Sejarah Pungutan Cukai

Sejarah pemungutan cukai (excise tax) modern diawali oleh bangsa Holland (bagian dari negara Netherland) yang pertama kali mengembangkan pungutan cukai dalam bentuk pungutan pajak modern yang dikelola oleh penguasa pada sekitar abad ke 17. Kemudian disusul Inggris yang menetapkan aturan tentang pungutan cukai secara resmi dalam bentuk perundang-undangan pada tahun 1643 dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintahnya. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan pungutan cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman beralkohol) pada tahun 1791 (Encarta, 2006).

Sejarah pemungutan cukai pertama di Indonesia dimulai pada zaman kolonial Belanda pada tahun 1886 terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonnantie
van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya diberlakukan terhadap komoditi tertentu lainnya, sebagai berikut :

  • Alkohol Sulingan, berdasarkan Ordonnantie Van 27 Februari 1898, Stbl. 1898 Nomor 90 en 92;
  • Bir, berdasarkan Bieraccijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 488 en 489;
  • Tembakau, berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517;
  • Gula, berdasarkan Suikeraccijns Ordonnantie, Stbl. 1933 Nomor 351.

Dalam perkembangannya produk hukum warisan kolonial Belanda tersebut beserta peraturan pelaksanaannya masih diberlakukan hingga tahun 1995 meskipun bangsa Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.

    Pemberlakuan ordonansi cukai produk kolonial Belanda pasca kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki banyak kekurangan dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945, antara lain :

  1. diskriminatif;
  2. obyeknya terbatas;
  3. tidak sejalan dengan tuntutan pembangunan;
  4. tidak mencerminkan semangat kemandirian.

Pengertian diskriminatif adalah adanya pemberlakuan ketentuan cukai yang berbeda untuk kelima obyek cukai tersebut apabila diimpor dari luar negeri, yaitu untuk gula, hasil tembakau, dan minyak tanah dikenai cukai atas pengimporannya sedangkan bir dan alkohol sulingan tidak dikenakan cukai. Kondisi lain yang diskriminatif adalah pemberlakuan ordonansi cukai alkohol sulingan eksklusif hanya untuk Pulau Jawa dan Madura saja, sementara wilayah lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak berlaku.

Pengertian obyek yang terbatas bahwa pemberlakuan ordonansi cukai lama hanya terbatas pada kelima jenis barang dan Undang-undang tersebut tidak memberikan kemungkinan adanya perluasan obyek cukai. Hal ini memberikan ruang gerak yang terbatas bagi pemerintah untuk menggali potensi penerimaan yang ada, khususnya terhadap komoditi-komoditi yang harus dikontrol atau dibatasi peredarannya.

Berkaitan dengan tuntutan pembangunan dan semangat kemandirian, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan tentang cukai yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka menggantikan produk-produk hukum kolonial Belanda yang sudah tidak relevan lagi digunakan. Untuk itulah segala upaya dan pemikiran dikerahkan oleh pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyusun suatu Undang-undang tentang cukai yang sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945.

Sejak tanggal 1 April 1996 Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai resmi diberlakukan menggantikan kelima ordonansi cukai lama. Dalam Undang-undang tersebut diatur suatu ketentuan baru tentang cukai yang terintegrasi dan mengatur hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah ada, antara lain: ketentuan sanksi administrasi, lembaga banding, audit di bidang cukai, penyidikan, pengawasan fisik dan administratif, serta kemungkinan untuk memperluas obyek cukai. Materi Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 selain bertujuan membina dan mengatur juga memperhatikan prinsip-prinsip:

  1. Keadilan dalam keseimbangan, yaitu kewajiban cukai hanya dibebankan kepada orang-orang yang memang seharusnya diwajibkan dan diterapkan secara sama dalam hal dan kondisi yang sama;
  2. Pemberian insentif yang bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional berupa fasilitas pembebasan cukai;
  3. Pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat di bidang kesehatan, ketertiban, dan keamanan;
  4. Netral dalam pemungutan cukai yang tidak menimbulkan distorsi pada perekonomian nasional;
  5. Kelayakan administrasi dengan maksud agar pelaksanaan administrasi cukai dapat dilaksanakan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat;
  6. Kepentingan penerimaan negara, dalam arti bahwa fleksibilitas ketentuan Undang-undang ini dapat menjamin peningkatan penerimaan negara;
  7. Pengawasan dan penerapan sanksi untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi nasional dan kebijakan politik pemerintah diperlukan suatu perubahan terhadap Undang-undang cukai agar mampu menampung dan memberdayakan peranan cukai sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Amandemen terhadap Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai dilaksanakan dengan pengesahan Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 yang mulai berlaku pada tanggal 15 Agustus 2007. Beberapa materi perubahan dalam amandemen Undang-undang tentang Cukai tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Perluasan cara pelunasan cukai yang lebih akomodatif untuk menyesuaikan dengan praktek bisnis tanpa mengabaikan pengamanan hak-hak negara;
  2. Penyempurnaan sistem penagihan utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dengan menambahkan skema pembayaran secara angsuran;
  3. Menghapus ketentuan yang mengatur lembaga banding untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Badan Peradilan Pajak;
  4. Penyelenggaraan pembukuan yang diselaraskan dengan perkembangan zaman dan ketentuan audit cukai;
  5. Penegasan penggunaan dokumen cukai dan dokumen pelengkap cukai dalam bentuk data elektronik dan sanksi terhadap pelanggaran terhadap pihak yang mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai secara tidak sah;
  6. Pengaturan tentang pembinaan pegawai DJBC dengan kode etik dan penyelesaian pelanggarannya melalui komisi kode etik serta pemberian insentif kepada DJBC berdasarkan kinerja;
  7. Pengaturan pemberian penghargaan (reward) bagi yang berjasa;
  8. Pengaturan tentang bagi hasil dari cukai hasil tembakau kepada pemerintah daerah.


 


 

Semoga bermanfaat

Mr.sur

Sabtu, 10 Juli 2010

Kemudahan-Kemudahan Dalam Prosedur Impor

Tahukah Anda...?

Bahwa, ketentuan kepabeanan khususnya Prosedur impor, memberikan beberapa fasilitas dan kemudahan bagi para pengguna jasa. Bentuk fasilitas ini bersifat non fiskal dan diberikan berkaitan dengan prosedur pelayanan impor yang harus dijalani ketika importir akan mengeluarkan barang impor dari Pelabuhan (kawasan Pabean). Fasilitas pelayanan kepabeanan ditujukan untuk memperlancar arus barang, orang maupun dokumen dalam sistem atau tata laksana kepabeanan di bidang impor. Umumnya bentuk-bentuk fasilitas pelayanan telah terintegrasi dalam sistem tata laksana kepabeanan.

Kewenangan pemberian fasilitas pelayanan sepenuhnya dilaksanakan oleh Kepala kantor Pabean setempat. Hal ini merupakan suatu perlakuan diskresi (penyimpangan) dari suatu sistem tatalaksana yang regular dengan tujuan semata-mata untuk kepentingan kelancaran arus barang, orang maupun dokumen. Beberapa bentuk fasilitas pelayanan impor yang diberikan DJBC, antara lain :


 

  1. Pembongkaran atau Penimbunan di Luar Kawasan Pabean

(Referensi : Pasal 10A Undang-undang Kepabeanan)

Pada dasarnya pembongkaran dan penimbunan barang impor wajib dilakukan di suatu tempat dalam Kawasan pabean. Akan tetapi apabila barang impor karena sesuatu hal, baik alasan yang menyangkut kondisi barang maupun kelayakan lokasi kawasan pabean, dapat saja seorang Kepala Kantor memberikan suatu diskresi (penyimpangan) yang mengizinkan pembongkaran dan penimbunan di luar kawasan pabean. Kebijakan ini semata-mata memang karena kondisi-kondisi yang disebutkan tersebut dan bukan karena adanya privelege tertentu terhadap importir.

Perlakuan khusus ini merupakan salah satu bentuk pemberian fasilitas pelayanan kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, fasilitas Kepabeanan ini seringkali diberikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai di daerah-daerah yang sarana dan prasarana pelabuhan dan/atau kawasan pabeannya belum lengkap. Untuk pengamanan hak-hak negara, proses pembongkaran barang impor wajib diawasi oleh petugas Bea dan Cukai serta dilakukan penyegelan terhadap barang impor yang ditimbun.

  1. Fasilitas Impor Sementara

    (Referensi : Pasal 10D, Undang-undang Kepabeanan)

Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun. Terhadap barang impor sementara dapat diberikan pembebasan bea masuk atau keringanan bea masuk. Pembebasan bea masuk diberikan terhadap barang impor sementara yang termasuk dalam kategori barang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan nomor 140/PMK.04/2007 tentang Impor Sementara. Pemberian keringanan Bea Masuk diperlakukan terhadap barang impor sebagaimana berupa mesin dan peralatan untuk kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur.


 

  1. Fasilitas Tempat Penimbunan Berikat

    (Referansi: pasal 44, Undang-undang kepabeanan)

Bentuk insentif yang diterima oleh pihak yang menyelenggarakan Tempat Penimbunan Berikat (TPB) berupa penangguhan bea masuk dan tidak dipungut pajak-pajak dalam rangka impor maupun pajak-pajak dalam negeri. Fasilitas tempat penimbunan berikat merupakan bentuk fasilitas yang bersifat institusional terhadap subyek pajak. Pengertiannya bahwa perlakuan insentif perpajakan melekat terhadap institusi atau subyek pajak tertentu dan bukan terhadap obyek pajaknya. Secara prinsip barang-barang impor yang ditimbun di dalam TPB masih terutang bea masuk dan apabila dikeluarkan dari TPB selain untuk diekspor maka wajib dipungut bea masuk dan PDRI.

Pada prinsipnya tujuan pengadaan Tempat Penimbunan Berikat adalah untuk memberikan insentif berupa penangguhan pembayaran bea masuk, atas kegiatan menyimpan, menimbun, memamerkan, menjual, mengemas dan mengolah barang yang berasal dari impor di dalam tempat penimbunan berikat. Pelaksanaannya, TPB dibagi menjadi beberapa jenis yaitu Kawasan Berikat, Gudang Berikat , Entrepot Tujuan Pameran, Toko Bebas Bea, Tempat pelelangan berikat dan tempat daur ulang berikat.

  1. Fasilitas Jalur Prioritas

    (Referansi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008 )

Pengertian fasilitas jalur prioritas adalah suatu bentuk perlakuan khusus yaitu tidak dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen atas pemasukan barang impor dalam sistem tatalaksana impor barang. Dalam implementasinya, jalur prioritas dibedajkan menjadi jalur MITA Prioritas dan jalur MITA non prioritas.

Jalur MITA Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan kepada MITA Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen. Selain itu, MITA Prioritas berhak atas fasilitas pembayaran berkala. Jalur MITA Non Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan kepada MITA Non Prioritas untuk pengeluaran barang impor tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal-hal tertentu yaitu :

  • barang ekspor yang diimpor kembali;
  • barang yang terkena pemeriksaan acak; atau
  • barang impor sementara.
  1. Fasilitas Pemberitahuan Pendahuluan (Prenotification)

(Referansi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008 )

Pengertian fasilitas prenotification adalah pengajuan pemberitahuan Impor Barang (PIB) sebelum pihak pengangkut menyerahkan inward manifest, dengan ketentuan:

  • Bagi Importir MITA Prioritas tanpa harus mengajukan permohonan; atau
  • Bagi importir lainnya setelah mendapatkan persetujuan Kepala Kantor Pabean atau Pejabat yang ditunjuk. Pengajuan izin Prenotification disampaikan kepada Kepala Kantor BC dengan menyerahkan copy atau fax AWB, House AWB, B/L, atau House B/L yang telah ditandasahkan oleh pengangkut untuk barang impor yang bersangkutan.
  1. Fasilitas Vooruitslag

    (Referansi: Peraturan Dirjend nomor P-42/BC/2007 jo. P-08/BC/2008 )

Pengertian fasilitas vooruitslag adalah suatu bentuk perlakuan khusus berupa pemberian izin untuk mengeluarakan terlebih dahulu barang impor yang masih terutang bea masuk dan PDRI dengan mempertaruhkan jaminan. Pemberian fasilitas vooruitslag diberikan terhadap importir yang telah mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau keringanan.

  1. Pelayanan Segera (Rush Handling)

    (Referensi : PMK nomor 148/PMK.04/2007)

Pelayanan Segera (rush handling) adalah pelayanan kepabeanan yang diberikan atas barang impor tertentu yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawasan pabean. Pelayanan segera diberikan untuk barang yang terikat waktu (peka waktu) dan barang lain yang sangat diperlukan, contoh; koran, binatang hidup, dan tumbuhan hidup yang perawatannya memerlukan cara khusus untuk menghindari kerusakan. Tanpa pemberian pelayanan segera nilai barang tersebut akan berubah atau tidak ada sama sekali karena telah lampau waktu atau daluwarsa .

Sebenarnya masih banyak jenis-jenis fasilitas non fiskal yang diberikan oleh DJBC berkaitan dengan prosedur pelayanan impor. Mungkin Anda dapat berbagi, berkaitan dengan pengalaman Anda berkaitan dengan fasilitas pelayanan ini.


 

Semoga bermanfaat,

Mr.sur